EL_SOUNDRENALINE AREA

Kamis, 19 April 2012

MEDIASI PERDAMAIAN WILAYAH


BAB I
PENDAHULUAN

Lingkungan hidup sebagai media hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan unsur alam yang terdiri dari berbagai macam proses ekologi yang merupakan suatu kesatuan. Lingkungan hidup juga mempunyai fungsi sebagai penyangga perikehidupan yang sangat penting, oleh karena itu pengelolaan dan pengembangannya diarahkan untuk mempertahankan keberadaannya dalam keseimbangan yang dinamis melalui berbagai usaha perlindungan dan rehabilitasi serta usaha pemeliharaan keseimbangan antara unsur-unsur secara terus menerus.
Manusia dan alam lingkungannya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena berhubungan dan saling mengadakan interaksi. Dengan adanya interaksi dan hubungan tersebut sehingga akan membentuk suatu yang harmonis. Dalam rangkaian kesatuan itu semua unsur menjalin suatu interaksi yang harmonis dan stabil sehingga terwujud komposisi lingkungan hidup yang serasi dan seimbang. Diantara unsur-unsur tersebut di bawah ini yaitu : hewan, manusia dan tumbuh-tumbuhan atau benda mati saling mempengaruhi yang akan terbentuk dalam berbagai macam bentuk dan sifat serta reaksi suatu golongan atas pengaruh dari lainnya yang berbeda-beda.
Pembangunan dan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat tentu akan berkembang pula kebutuhan hidup baik lahiriah maupun batiniah. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut pemerintah mengadakan pembangunan di segala bidang. Karena luasnya ruang lingkup pembangunan, maka dalam pencapaiannya dilakukan secara bertahap tetapi simultan. Dengan adanya pelaksanaan pembangunan ini maka akan berpengaruh terhadap lingkungan, karena pembangunan ini maka akan berpengaruh terhadap lingkungan, karena pembangunan berarti perubahan dan pertumbuhan yang berangsur-angsur atau secara cepat merubah rona, sifat dan keadaan lingkungan hidup, agar menjadi lebih baik dan sehat.
Pembangunan yang dilakukan selama ini, selain bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan rakyat, dalam kenyataannya juga menimbulkan dampak yang positif maupun negatif. Hal ini berarti selain membawa manfaat bagi umat manusia, pembangunan juga menimbulkan risiko bagi lingkungan.
Demikian halnya pembangunan di sektor industri. Dalam usaha untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pendapatan, pemerintah semakin mendorong lahirnya industri. Sehingga perkembangan industri mempunyai peran yang cukup luas dan kompleks dalam pembangunan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan pengawasan dan pembinaan di bidang perindustrian sehingga dapat mencegah timbulnya dampak negatif sebagai akibat dari perkembangan industri dan teknologi.
Akan tetapi tidak dapat dihindari lagi bahwa pembangunan industry tersebut menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan yang cukup meresahkan, yaitu pencemaran yang berupa :
1. Pencemaran Udara
2. Pencemaran Air
3. Pencemaran Tanah
4. Kebisingan

BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Masalah
            Pembangunan pengeboran gas bumi di Desa Talikuran Kec. Tompaso yang dimulai pada tahun 2000 dan mulai beroperasi sekitar tahun 2005 telah meresahkan penduduk. Masyarakat desa mulai terganggu untuk kenyamanan dalam kehidupannya terutama masalah lingkungan hidup seperti udara berbau, pencemaran air, dan kebisingan suara dari mesin. Dengan gangguan tersebut pada akhirnya timbulah permasalahan, yang akhirnya menjadi sengketa antara Pertamina dengan Desa Talikuran Kec. Tompaso.
            Persoalan Lingkungan Hidup muncul bukan saja karena peningkatan kesadaran hukum pasa masyarakat, tetapi juga karena penyimpangan yang dilakukan oleh Pertamina. Permasalahan pokok dalam studi kasus ini adalah Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan. Oleh sebab itu akan membawa konsekuensi pada pendekatan Yuridis Normatif dengan Studi Kasus Penyelesaian Sengketa Lingkungan antara Pertamina dengan Masyarakat Desa Talikuran Kec. Tompaso, yang dilaksanakan dengan menggunakan Alternatif Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat diajukan pokok-pokok perumusan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana pelaksanaan Alternative Dispute Rasolution dalam penyelesaian sengketa lingkungan antara Pertamina dengan masyarakat desa Talikuran kec. Tompaso
2.      Hambatan apa yang dihadapi mediator dalam hal ini birokrat pemerintah dalam melakukan mediasi

C. Pemecahan Masalah
1.Sistematika Pengaduan
Menurut pedoman pengelolaan pengaduan kasus pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup yang dikeluarkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 19 Tahun 2004, setiap orang yang mengetahui, menduga dan atau menderita kerugian akibat terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup dapat menyampaikan pengaduannya secara tertulis atau lisan kepada:
a. Kepala desa, Lurah atau Camat setempat;
b. Bupati/ Walikota atau Kepala Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota, bagi pengaduan kasus pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang lokasi dan atau dampaknya berada di suatu Kabupaten/ Kota;
c. Gubernur atau Kepala Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup propinsi, bagi pengaduan kasus pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang lokasi dan atau dampaknya lintas Kabupaten/Kota; dan atau
d. Menteri Lingkungan Hidup, bagi pengaduan kasus pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang lokasi dan atau dampaknya lintas batas propinsi dan atau lintas batas Negara

Selanjutnya laporan atau pengaduan tersebut apabila diajukan kepada kepala desa, lurah atau camat wajib diteruskan kepada Bupati atau Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/ Kota. Apabila laporan tersebut diajukan kepada pejabat yang tercantum dalam huruf b, c, dan d maka laporan tersebut harus segera ditindaklanjuti dalam batas waktu yang telah ditentukan untuk kemudian diadakan verifikasi terkait dengan pengaduan pencemaran atau perusakan lingkungan tersebut oleh instansi yang berwenang dalam lingkungan hidup. Pengaturan ini memungkinkan masyarakat yang tinggal di suatu daerah yang belum memiliki Badan Pengendalian/ Pengelolaan Lingkungan Hidup atau instansi yang secara khusus menangani bidang pengendalian atau pengelolaan lingkungan hidup, tetap dapat melakukan pengaduan atas dugaan terjadinya kasus pencemaran atau perusakan lingkungan. Sehingga akses untuk memperoleh penegakan hukum bagi masyarakat untuk memperoleh hak-haknya dalam lingkungan yang baik dan sehat tetap terpenuhi.


2.Proses Mediasi
Proses fasilitasi yang berlangsung antara warga Desa Talikuran Pertamina merupakan sebuah proses mediasi, karena apabila mengacu pada unsur-unsur yang terdapat dalam suatu mediasi, yaitu:
a.       Sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan.
b.      Adanya pihak ketiga yang bersifat netral yang disebut sebagai mediator (penengah) terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan itu.
c.       Mediator tersebut bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian atas masalah-masalah sengketa.
d.      Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan-keputusan selama proses perundingan berlangsung.
e.       Mempunyai tujuan untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa

D. Diskusi dan Analisa
1. Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution)
Dalam Pasal 1 angka 10 UU Nomor 30/1999 dirumuskan bahwa “alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yaitu penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Dijelaskan dibawah ini :
a.Negosiasi
UU nomor 30/1999 tidak memberikan definisi mengenai negosiasi. Pada prinsipnya pengertian negosiasi adalah suatu proses dalam mana dua pihak yang saling bertentangan mencapai suatu kesepakatan umum melalui kompromi dan saling memberikan kelonggaran. Melalui Negosiasi para pihak yang bersengketa dapat melakukan suatu proses penjajakan kembali akan hak dan kewajiban para pihak dengan/melalui suatu situasi yang saling menguntungkan (win-win solution) dengan memberikan atau melepaskan kelonggaran atas hak-hak tertentu berdasarkan asas timbal balik.
Didalam mekanisme negosiasi penyelesaian sengketa harus dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan diantara para pihak yang bersengketa tanpa melibatkan orang ketiga sebagai penengah, untuk menyelesaikan sengketa.
Persetujuan atau kesepakatan yang telah dicapai tersebut dituangkan secara tertulis untuk ditandatangani oleh para pihak dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kesepakatan tertulis tersebut bersifat final dan mengikat para pihak dan wajib didaftarkan di pengadilan negeri dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak tanggal dicapainya kesepakatan.
b.Mediasi
UU nomor 30/1999 tidak memberikan definisi mengenai mediasi. Menurut Black’s Law Dictionary mediasi diartikan sebagai proses penyelesaian sengketa secara pribadi, informal dimana seorang pihak yang netral yaitu mediator, membantu para pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan. Mediator tidak mempunyai kesewenangan untuk menetapkan keputusan bagi para pihak. Mediator bersifat netral dan tidak memihak yang tugasnya membantu para pihak yang bersengketa untuk mengindentifikasikan isu-isu yang dipersengketakan mencapai kesepakatan. Dalam fungsinya mediator tidak mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan.
c.Konsiliasi
UU nomor 30/1999 tidak memberikan definisi mengenai konsiliasi. Menurut John Wade dari bond University Dispute Resolution Center, Australia “konsiliasi adalah suatu proses dalam mana para pihak dalam suatu konflik, dengan bantuan seorang pihak ketiga netral (konsiliator), mengindentifikasikan masalah, menciptakan pilihan-pilihan, mempertimbangkan pilihan penyelesaian).”
Konsiliator dapat menyarankan syarat-syarat penyelesaian dan mendorong para pihak untuk mencapai kesepakatan. Berbeda dengan negosiasi dan mediasi, dalam proses konsiliasi konsiliator mempunyai peran luas. Ia dapat memberikan saran berkaitan dengan materi sengketa, maupun terhadap hasil perundingan. Dalam menjalankan peran ini konsiliator dituntut untuk berperan aktif.
d.Penilaian Ahli
UU nomor 30/1999 tidak memberikan definisi mengenai penilaian ahli, menurut Hillary Astor dalam bukunya Dispute Resolution in Australia “penilaian ahli adalah suatu proses yanh menghasilkan suatu pendapat objektif, independen dan tidak memihak atas fakta-fakta atau isu-isu yang dipersengketakan oleh seorang ahli yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa.”
Di dalam melakkukan proses ini dibutuhkan persetujuan dari para pihak untuk memberikan dan mempresentasikan fakta dan pendapat dari para pihak kepada ahli. Ahli tersebut kemudian akan melakukan penyelidikan dan pencarian fakta guna mendapatkan informasi lebih lanjut dari para pihak dan akan membuat keputusan sebagai ahli bukan arbiter.

2.Analisa Penegakan Hukum Lingkungan Hidup
            Penegakan hukum lingkungan yang dilakukan lembaga formal, seperti pengadilan dan pemerintah selama ini belum bergesar dari pendekaatan positivis formal dan prosedural. Aparat penegak hukum dalam merespon dan menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan menunjukan sikap yang formalis, deterministik, dan memberi peluang terjadinya perilaku eksploitatif di kalangan pelaku usaha (investor). Instrumen hukum yang dipakai hanya berorientasi prosedur dan tidak dapat diandalkan sebagai pilar utama untuk mengatasi problem lingkungan, sementara pencemaran lingkungan dalam proses waktu semakin sulit untuk dapat dikendalikan.
Karena itu, pendekatan seperti itu kiranya perlu segera diakhiri, diganti dengan semangat pendekatan hukum progresif yang dimulai dari kesadaran yang tumbuh dari semua kalangan yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan untuk memahami bahwa persoalan lingkungan sudah mencapai tarap yang mengkhawatirkan. Karena itu, perlu ada terapi kejut (shock therapy) yang segera digulirkan dalam berbagai upaya dan langkah dalam rangka memberikan dorongan yang lebih kuat lagi. Untuk mengatasinya perlu dilakukan gerakan penyadaran secara progresif dengan melibatkan pertisipasi masyarakat, aparat pemerintah dan penegak hukum.

BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
1. Untuk melihat efektif tidaknya sebuah peraturan/hukum atau perundang-undangan dapat dilihat melalui komponen pendukung Penegakkan Hukum (Enforcement of Law) yaitu :
a. Hukum atau aturan itu sendiri;
b. Petugas yang menegakkan;
c. Fasislitas yang mendukung pelaksanaan penegakan hukum;
d. Kesadaran warga masyarakat.
2. Hubungan antara lembaga peradilan dengan lembaga arbitrase jelas saling keterkaitan dan saling mendukung satu sama lain. Bagi dunia peradilan, kehadiran arbitrase, mediasi atau cara-cara lain penyelesaian sengketa di luar proses peradilan adalah merupakan komponen penting dalam penegakkan hukum sedangkan bagi Lembaga Arbitrase eksistensi Badan Peradilan merupakan lembaga yang memberikan legalitas atas putusannya --- jelasnya putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan hukum eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dar pengadilan

B.Saran-saran
1. Dalam masalah efektivitas pelaksanaan sebuah hukum, diusahakan tidak hanya terpaku pada empat faktor pendukung sistem Penegakkan Hukum saja, dijaman modern ini kata efektivitas tersebut senantiasa dikaitkan pula dengan masalah pelayanan secara keseluruhan --- integral --- baik dari tataran adminisi umum hingga administrasi yuridisnya. Terlebih masalah Service Exelencce (Managemen Pelayana Prima) di dunia maju seperti halnya Amerika, merupakan satu daya tawar mutlak bagi lembaga atau institusi publik.
2. Untuk mendatang mengenai hubungan tersebut diciptakan secara profesional mungkin --- indikator profesionalisme dalam segala hal adalah masalah inependensi. 

2 komentar: