EL_SOUNDRENALINE AREA

Kamis, 19 April 2012

MEDIASI PERDAMAIAN WILAYAH


BAB I
PENDAHULUAN

Lingkungan hidup sebagai media hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan unsur alam yang terdiri dari berbagai macam proses ekologi yang merupakan suatu kesatuan. Lingkungan hidup juga mempunyai fungsi sebagai penyangga perikehidupan yang sangat penting, oleh karena itu pengelolaan dan pengembangannya diarahkan untuk mempertahankan keberadaannya dalam keseimbangan yang dinamis melalui berbagai usaha perlindungan dan rehabilitasi serta usaha pemeliharaan keseimbangan antara unsur-unsur secara terus menerus.
Manusia dan alam lingkungannya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena berhubungan dan saling mengadakan interaksi. Dengan adanya interaksi dan hubungan tersebut sehingga akan membentuk suatu yang harmonis. Dalam rangkaian kesatuan itu semua unsur menjalin suatu interaksi yang harmonis dan stabil sehingga terwujud komposisi lingkungan hidup yang serasi dan seimbang. Diantara unsur-unsur tersebut di bawah ini yaitu : hewan, manusia dan tumbuh-tumbuhan atau benda mati saling mempengaruhi yang akan terbentuk dalam berbagai macam bentuk dan sifat serta reaksi suatu golongan atas pengaruh dari lainnya yang berbeda-beda.
Pembangunan dan pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat tentu akan berkembang pula kebutuhan hidup baik lahiriah maupun batiniah. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut pemerintah mengadakan pembangunan di segala bidang. Karena luasnya ruang lingkup pembangunan, maka dalam pencapaiannya dilakukan secara bertahap tetapi simultan. Dengan adanya pelaksanaan pembangunan ini maka akan berpengaruh terhadap lingkungan, karena pembangunan ini maka akan berpengaruh terhadap lingkungan, karena pembangunan berarti perubahan dan pertumbuhan yang berangsur-angsur atau secara cepat merubah rona, sifat dan keadaan lingkungan hidup, agar menjadi lebih baik dan sehat.
Pembangunan yang dilakukan selama ini, selain bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan rakyat, dalam kenyataannya juga menimbulkan dampak yang positif maupun negatif. Hal ini berarti selain membawa manfaat bagi umat manusia, pembangunan juga menimbulkan risiko bagi lingkungan.
Demikian halnya pembangunan di sektor industri. Dalam usaha untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan pendapatan, pemerintah semakin mendorong lahirnya industri. Sehingga perkembangan industri mempunyai peran yang cukup luas dan kompleks dalam pembangunan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan pengawasan dan pembinaan di bidang perindustrian sehingga dapat mencegah timbulnya dampak negatif sebagai akibat dari perkembangan industri dan teknologi.
Akan tetapi tidak dapat dihindari lagi bahwa pembangunan industry tersebut menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan yang cukup meresahkan, yaitu pencemaran yang berupa :
1. Pencemaran Udara
2. Pencemaran Air
3. Pencemaran Tanah
4. Kebisingan

BAB II
PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Masalah
            Pembangunan pengeboran gas bumi di Desa Talikuran Kec. Tompaso yang dimulai pada tahun 2000 dan mulai beroperasi sekitar tahun 2005 telah meresahkan penduduk. Masyarakat desa mulai terganggu untuk kenyamanan dalam kehidupannya terutama masalah lingkungan hidup seperti udara berbau, pencemaran air, dan kebisingan suara dari mesin. Dengan gangguan tersebut pada akhirnya timbulah permasalahan, yang akhirnya menjadi sengketa antara Pertamina dengan Desa Talikuran Kec. Tompaso.
            Persoalan Lingkungan Hidup muncul bukan saja karena peningkatan kesadaran hukum pasa masyarakat, tetapi juga karena penyimpangan yang dilakukan oleh Pertamina. Permasalahan pokok dalam studi kasus ini adalah Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan. Oleh sebab itu akan membawa konsekuensi pada pendekatan Yuridis Normatif dengan Studi Kasus Penyelesaian Sengketa Lingkungan antara Pertamina dengan Masyarakat Desa Talikuran Kec. Tompaso, yang dilaksanakan dengan menggunakan Alternatif Penyelesaian Sengketa diluar Pengadilan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat diajukan pokok-pokok perumusan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana pelaksanaan Alternative Dispute Rasolution dalam penyelesaian sengketa lingkungan antara Pertamina dengan masyarakat desa Talikuran kec. Tompaso
2.      Hambatan apa yang dihadapi mediator dalam hal ini birokrat pemerintah dalam melakukan mediasi

C. Pemecahan Masalah
1.Sistematika Pengaduan
Menurut pedoman pengelolaan pengaduan kasus pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup yang dikeluarkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 19 Tahun 2004, setiap orang yang mengetahui, menduga dan atau menderita kerugian akibat terjadinya pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup dapat menyampaikan pengaduannya secara tertulis atau lisan kepada:
a. Kepala desa, Lurah atau Camat setempat;
b. Bupati/ Walikota atau Kepala Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup Kabupaten/Kota, bagi pengaduan kasus pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang lokasi dan atau dampaknya berada di suatu Kabupaten/ Kota;
c. Gubernur atau Kepala Instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup propinsi, bagi pengaduan kasus pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang lokasi dan atau dampaknya lintas Kabupaten/Kota; dan atau
d. Menteri Lingkungan Hidup, bagi pengaduan kasus pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang lokasi dan atau dampaknya lintas batas propinsi dan atau lintas batas Negara

Selanjutnya laporan atau pengaduan tersebut apabila diajukan kepada kepala desa, lurah atau camat wajib diteruskan kepada Bupati atau Kepala instansi yang bertanggung jawab di bidang pengelolaan lingkungan hidup di tingkat Kabupaten/ Kota. Apabila laporan tersebut diajukan kepada pejabat yang tercantum dalam huruf b, c, dan d maka laporan tersebut harus segera ditindaklanjuti dalam batas waktu yang telah ditentukan untuk kemudian diadakan verifikasi terkait dengan pengaduan pencemaran atau perusakan lingkungan tersebut oleh instansi yang berwenang dalam lingkungan hidup. Pengaturan ini memungkinkan masyarakat yang tinggal di suatu daerah yang belum memiliki Badan Pengendalian/ Pengelolaan Lingkungan Hidup atau instansi yang secara khusus menangani bidang pengendalian atau pengelolaan lingkungan hidup, tetap dapat melakukan pengaduan atas dugaan terjadinya kasus pencemaran atau perusakan lingkungan. Sehingga akses untuk memperoleh penegakan hukum bagi masyarakat untuk memperoleh hak-haknya dalam lingkungan yang baik dan sehat tetap terpenuhi.


2.Proses Mediasi
Proses fasilitasi yang berlangsung antara warga Desa Talikuran Pertamina merupakan sebuah proses mediasi, karena apabila mengacu pada unsur-unsur yang terdapat dalam suatu mediasi, yaitu:
a.       Sebuah proses penyelesaian sengketa berdasarkan perundingan.
b.      Adanya pihak ketiga yang bersifat netral yang disebut sebagai mediator (penengah) terlibat dan diterima oleh para pihak yang bersengketa di dalam perundingan itu.
c.       Mediator tersebut bertugas membantu para pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian atas masalah-masalah sengketa.
d.      Mediator tidak mempunyai kewenangan membuat keputusan-keputusan selama proses perundingan berlangsung.
e.       Mempunyai tujuan untuk mencapai atau menghasilkan kesepakatan yang dapat diterima pihak-pihak yang bersengketa guna mengakhiri sengketa

D. Diskusi dan Analisa
1. Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution)
Dalam Pasal 1 angka 10 UU Nomor 30/1999 dirumuskan bahwa “alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yaitu penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Dijelaskan dibawah ini :
a.Negosiasi
UU nomor 30/1999 tidak memberikan definisi mengenai negosiasi. Pada prinsipnya pengertian negosiasi adalah suatu proses dalam mana dua pihak yang saling bertentangan mencapai suatu kesepakatan umum melalui kompromi dan saling memberikan kelonggaran. Melalui Negosiasi para pihak yang bersengketa dapat melakukan suatu proses penjajakan kembali akan hak dan kewajiban para pihak dengan/melalui suatu situasi yang saling menguntungkan (win-win solution) dengan memberikan atau melepaskan kelonggaran atas hak-hak tertentu berdasarkan asas timbal balik.
Didalam mekanisme negosiasi penyelesaian sengketa harus dilakukan dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan diantara para pihak yang bersengketa tanpa melibatkan orang ketiga sebagai penengah, untuk menyelesaikan sengketa.
Persetujuan atau kesepakatan yang telah dicapai tersebut dituangkan secara tertulis untuk ditandatangani oleh para pihak dan dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kesepakatan tertulis tersebut bersifat final dan mengikat para pihak dan wajib didaftarkan di pengadilan negeri dalam jangka waktu 30 hari terhitung sejak tanggal dicapainya kesepakatan.
b.Mediasi
UU nomor 30/1999 tidak memberikan definisi mengenai mediasi. Menurut Black’s Law Dictionary mediasi diartikan sebagai proses penyelesaian sengketa secara pribadi, informal dimana seorang pihak yang netral yaitu mediator, membantu para pihak yang bersengketa untuk mencapai kesepakatan. Mediator tidak mempunyai kesewenangan untuk menetapkan keputusan bagi para pihak. Mediator bersifat netral dan tidak memihak yang tugasnya membantu para pihak yang bersengketa untuk mengindentifikasikan isu-isu yang dipersengketakan mencapai kesepakatan. Dalam fungsinya mediator tidak mempunyai kewenangan untuk membuat keputusan.
c.Konsiliasi
UU nomor 30/1999 tidak memberikan definisi mengenai konsiliasi. Menurut John Wade dari bond University Dispute Resolution Center, Australia “konsiliasi adalah suatu proses dalam mana para pihak dalam suatu konflik, dengan bantuan seorang pihak ketiga netral (konsiliator), mengindentifikasikan masalah, menciptakan pilihan-pilihan, mempertimbangkan pilihan penyelesaian).”
Konsiliator dapat menyarankan syarat-syarat penyelesaian dan mendorong para pihak untuk mencapai kesepakatan. Berbeda dengan negosiasi dan mediasi, dalam proses konsiliasi konsiliator mempunyai peran luas. Ia dapat memberikan saran berkaitan dengan materi sengketa, maupun terhadap hasil perundingan. Dalam menjalankan peran ini konsiliator dituntut untuk berperan aktif.
d.Penilaian Ahli
UU nomor 30/1999 tidak memberikan definisi mengenai penilaian ahli, menurut Hillary Astor dalam bukunya Dispute Resolution in Australia “penilaian ahli adalah suatu proses yanh menghasilkan suatu pendapat objektif, independen dan tidak memihak atas fakta-fakta atau isu-isu yang dipersengketakan oleh seorang ahli yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa.”
Di dalam melakkukan proses ini dibutuhkan persetujuan dari para pihak untuk memberikan dan mempresentasikan fakta dan pendapat dari para pihak kepada ahli. Ahli tersebut kemudian akan melakukan penyelidikan dan pencarian fakta guna mendapatkan informasi lebih lanjut dari para pihak dan akan membuat keputusan sebagai ahli bukan arbiter.

2.Analisa Penegakan Hukum Lingkungan Hidup
            Penegakan hukum lingkungan yang dilakukan lembaga formal, seperti pengadilan dan pemerintah selama ini belum bergesar dari pendekaatan positivis formal dan prosedural. Aparat penegak hukum dalam merespon dan menyelesaikan berbagai persoalan lingkungan menunjukan sikap yang formalis, deterministik, dan memberi peluang terjadinya perilaku eksploitatif di kalangan pelaku usaha (investor). Instrumen hukum yang dipakai hanya berorientasi prosedur dan tidak dapat diandalkan sebagai pilar utama untuk mengatasi problem lingkungan, sementara pencemaran lingkungan dalam proses waktu semakin sulit untuk dapat dikendalikan.
Karena itu, pendekatan seperti itu kiranya perlu segera diakhiri, diganti dengan semangat pendekatan hukum progresif yang dimulai dari kesadaran yang tumbuh dari semua kalangan yang mempunyai kepedulian terhadap lingkungan untuk memahami bahwa persoalan lingkungan sudah mencapai tarap yang mengkhawatirkan. Karena itu, perlu ada terapi kejut (shock therapy) yang segera digulirkan dalam berbagai upaya dan langkah dalam rangka memberikan dorongan yang lebih kuat lagi. Untuk mengatasinya perlu dilakukan gerakan penyadaran secara progresif dengan melibatkan pertisipasi masyarakat, aparat pemerintah dan penegak hukum.

BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
1. Untuk melihat efektif tidaknya sebuah peraturan/hukum atau perundang-undangan dapat dilihat melalui komponen pendukung Penegakkan Hukum (Enforcement of Law) yaitu :
a. Hukum atau aturan itu sendiri;
b. Petugas yang menegakkan;
c. Fasislitas yang mendukung pelaksanaan penegakan hukum;
d. Kesadaran warga masyarakat.
2. Hubungan antara lembaga peradilan dengan lembaga arbitrase jelas saling keterkaitan dan saling mendukung satu sama lain. Bagi dunia peradilan, kehadiran arbitrase, mediasi atau cara-cara lain penyelesaian sengketa di luar proses peradilan adalah merupakan komponen penting dalam penegakkan hukum sedangkan bagi Lembaga Arbitrase eksistensi Badan Peradilan merupakan lembaga yang memberikan legalitas atas putusannya --- jelasnya putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan hukum eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dar pengadilan

B.Saran-saran
1. Dalam masalah efektivitas pelaksanaan sebuah hukum, diusahakan tidak hanya terpaku pada empat faktor pendukung sistem Penegakkan Hukum saja, dijaman modern ini kata efektivitas tersebut senantiasa dikaitkan pula dengan masalah pelayanan secara keseluruhan --- integral --- baik dari tataran adminisi umum hingga administrasi yuridisnya. Terlebih masalah Service Exelencce (Managemen Pelayana Prima) di dunia maju seperti halnya Amerika, merupakan satu daya tawar mutlak bagi lembaga atau institusi publik.
2. Untuk mendatang mengenai hubungan tersebut diciptakan secara profesional mungkin --- indikator profesionalisme dalam segala hal adalah masalah inependensi. 
»»  BACA SELENGKAPNYA...

Rabu, 18 April 2012

PENANGGULANGAN MASALAH KERUSAKAN HUTAN DI INDONESIA


BAB 1
PENDAHULUAN

            Isu global telah membawa bangsa Indonesia harus dan mau untuk bisa melakukan upaya yang maksimal dalam mencegah dan menjaga hingga pada upaya penindakan yang berskala besar. Salah satu isu global yang paling diperhatikan oleh di pergaulan dunia internasional adalah masalah lingkungan hidup. Salah satu komponen yang termasuk di dalamnya adalah hutan. Alasan isu ini menjadi begitu penting dan segera harus ditangani dengan serius terutama oleh Negara – Negara yang masih memiliki sumber data hutan yang luas adalah dampak yang ditimbulkan terhadap umat manusia seluruh dunia. Dampaknya, ada  yang terasa secara langsung juga secara tidak langsung.
            Berdasarkan data tahun 1985, Indonesia bersama - sama dengan Brasil dan Zaire mempunyai luas hutan tropis sebesar 53 % dari luas total hutan dunia. Indonesia sendiri mempunyai 10 % yang merupakan kekayaan hutan tropika terbesar di asia dan nomor tiga di dunia. ( Kantor Men. KLH, 1990 : 25-27 ).
            Sejak akhir tahun 1970-an, Indonesia mengandalkan hutan alam sebagai penopang pembangunan ekonomi nasional, dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) menjadi sistem yang dominan dalam memanfaatkan hasil hutan dari hutan alam. Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) digunakan untuk merancang dan mengendalikan pembangunan HPH, HTI dan perkebunan, terutama perkebunan besar, agar dapat meminimumkan dampak negatif terhadap lingkungan dengan cara sesedikit mungkin mengkonversi hutan alam. Namun yang terjadi malah sebaliknya,  proses penataan ruang di daerah, yang dimulai dari penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK), justru mempercepat alih fungsi hutan di bawah wilayah di Tanah Air. Menurut evaluasi Greenomics Indonesia periode tahun 2003-2007 terhadap proses RTRWP dan RTRWK di Pulau Sumatera dan Kalimantan, tingkat kesahihan produk RTRWP dan RTRWK secara umum dapat dikategorikan cukup rendah karena data penentu kesahihan suatu produk RTRWP dan RTRWK sering tidak terpenuhi.
                        Banyaknya muncul pengalihan hutan dari hutan lindung menjadi hutan produksi maupun untuk areal pemukiman oleh pemerintah daerah menjadikan hutan Indonesia semakin tidak lestari dan menimbulkan berbagai masalah yang bersifat internasional. Salah satu contoh adalah Kebakaran hutan di Indonesia yang kerap terjadi setiap tahun akibat pengaruh alam pada musim kemarau atau pembakaran lahan untuk memperluas dan membuka areal perkebunan baru khususnya di Sumatera dan Kalimantan.

BAB II
ISI

A. PENGERTIAN SUMBER DAYA HUTAN
            Menurut www.answers.com. , hutan diartikan sebagai 1. A dense growth of trees, plants, and underbrush covering a large area. 2. Something that resembles a large, dense growth of trees. Dalam bahasa Indonesia 1.Suatu pertumbuhan pohon tebal/padat, tumbuhan  dan belukar yang mencakup suatu area besar. 2. Sesuatu yang menyerupai suatu pertumbuhan pohon besar, yang padat.
            Pohon sendiri adalah tumbuhan cukup tinggi dengan masa hidup bertahun-tahun. Jadi, tentu berbeda dengan sayur-sayuran atau padi-padian yang hidup semusim saja. Pohon juga berbeda karena secara mencolok memiliki sebatang pokok tegak berkayu yang cukup panjang dan bentuk tajuk (mahkota daun) yang jelas.
            Suatu kumpulan pepohonan dianggap hutan jika mampu menciptakan iklim dan kondisi lingkungan yang khas setempat, yang berbeda daripada daerah di luarnya. Jika kita berada di hutan hujan tropis, rasanya seperti masuk ke dalam ruang sauna yang hangat dan lembab, yang berbeda daripada daerah perladangan sekitarnya. Pemandangannya pun berlainan. Ini berarti segala tumbuhan lain dan hewan (hingga yang sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur tak hidup lain termasuk bagian-bagian penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan.
            Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumberdaya alam berupa kayu, tetapi masih banyak potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budidaya tanaman pertanian pada lahan hutan. Sebagai fungsi ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global. Sebagai fungsi penyedia air bagi kehidupan hutan merupakan salah satu kawasan yang sangat penting, hal ini dikarenakan hutan adalah tempat bertumbuhnya berjuta tanaman

B. FUNGSI DAN FORMASI HUTAN DI INDONESIA
            Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki hutan yang luas di dunia, berikut di bawah ini adalah pembagian macam-macam / jenis-jenis hutan yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia:
1.          Hutan bakau
2.          Hutan Sabana
3.          Hutan Rawa
4.          Hutan Hujan tropis

            Hutan bagi manusia mempunyai dua fungsi pokok, yaitu fungsi ekologis dan fungsi ekonomis. yaitu sebagai berikut :
1.          Sebagai fungsi ekologis, hutan menghisap karbon dari udara dan mengembalikan oksigen ( O2 ) kepada manusia. Hutan melakukan penyaringan udara yang kotor akibat pencemaran kendaraan bermotor, pabrik - pabrik, usaha - usaha pertambangan, aktivitas rumah tangga masyarakat, maka hilangnya hutan berarti bumi tidak memiliki keseimbangan untuk mempertahankan keseimbangan atas tersedianya oksigen yang sangat dibutuhkan oleh mahluk hidup dalam melaksanakan proses respirasi ( pernapasan ). Hal ini juga dapat mengakibatkan udara di bumi menjadi semakin panas karena begitu banyaknya bahan pencemar yang menyelimuti bumi dan mengurung hawa panas bumi untuk dipantulkan lagi ke bumi ( efek rumah kaca ). hutan sebagai tempat hidup berbagai macam tumbuh - tumbuhan, hewan dan jasad renik lainnya. semua bahan yang dimakan berasal dari flora dan fauna yang plasma nutfahnya berkembang di hutan. semua obat yang menyembuhkan penyakit berasal dari bahan hasil plasma nutfah hutan.

2.          Sebagai fungsi ekonomis, manusia telah memanfaatkan hutan dari generasi ke generasi. Pemanfaatan yang dikenal manusia dari hutan adalah pengambilan hasil hutan, terutama kayu. Pengambilan mulai dari kayu ramin, meranti, ulin sampai dengan kayu bakar dimanfaatkan manusia baik untuk keperluan sendiri ataupun sebagai penghasil devisa negara. Bahkan bagi masyarakat tertentu hutan adalah seluruh kehidupannya sebagai tempat tinggal dan tempat mencari nafkah.

            Saat ini pemerintah telah memberikan klasifikasi hutan terbagi / dibagi berdasarkan fungsinya, yaitu :
1.                  Hutan Wisata adalah hutan yang digunakan untuk rekreasi oleh masyarakat umum.
2.                  Hutan Cadangan adalah hutan yang menyediakan berbagai plasma nutfah berupa flora dan fauna yang merupakan kekayaan alam indonesia untuk menjadi kelestarian beberapa spesies yang tergolong langka agar habitatnya tetap tersedia di dunia.
3.                  Hutan Lindung adalah hutan yang difungsikan sebagai penjaga ketaraturan air dalam tanah (fungsi hidrolisis), menjaga tanah agar tidak terjadi erosi serta untuk mengatur iklim (fungsi klimatologis) sebagai penanggulang pencematan udara seperti C02 (karbon dioksida) dan C0 (karbon monoksida). Hutan lindung sangat dilindungi dari perusakan penebangan hutan membabibuta yang umumnya terdapat di sekitar lereng dan bibir pantai.
4.                  Hutan Produksi / Hutan Industri yaitu adalah hutan yang dapat dikelola untuk menghasilkan sesuatu yang bernilai ekonomi. Hutan produksi dapat dikategorikan menjadi dua golongan yakni hutan rimba dan hutan budidaya. Hutan rimba adalah hutan yang alami sedangkan hutan budidaya adalah hutan yang sengaja dikelola manusia yang biasanya terdiri dari satu jenis tanaman saja. Hutan rimba yang diusahakan manusia harus menebang pohon denga sistem tebang pilih dengan memilih pohon yang cukup umur dan ukuran saja agar yang masih kecil tidak ikut rusak.

C. PENYEBAB KERUSAKAN HUTAN DI INDONESIA
            Secara empiris kerusakan hutan di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
i. Kepentingan Ekonomi
            Dalam mengelola hutan kepentingan ekonomi kelihatannya masih lebih dominan daripada memikirkan kepentingan kelestarian ekologi. Akibatnya agenda yang berdimensi jangka panjang yaitu kelestarian ekologi menjadi terabaikan. Proses ini berjalan linear dengan akselerasi perekonomian global dan pasar bebas. Pasar bebas pada umumnya mendorong setiap negara mencari komposisi sumberdaya yang paling optimal dan suatu spesialisasi produk ekspor. Negara yang kapabilitas teknologinya rendah seperti Indonesia cenderung akan membasiskan industrinya pada bidang yang padat yaitu sumber daya alam. Hal ini ditambah dengan adanya pemahaman bahwa mengexploitasi sumber daya alam termasuk hutan adalah cara yang paling mudah dan murah untuk mendapatkan devisa ekspor. Industrialisasi di Indonesia yang belum mencapai taraf kematangan juga telah membuat tidak mungkin ditinggalkannya industri padat seperti itu. Kemudian beban hutang luar negeri yang berat juga telah ikut membuat Indonesia terpaksa mengexploitasi sumber daya alamnya dengan berlebihan untuk dapat membayar hutang negara. Inilah yang membuat ekspor non- migas Indonesia masih didominasi dan bertumpu pada produk-produk yang padat seperti hasil-hasil sumber daya alam. Ekspor kayu, bahan tambang dan eksplorasi hasil hutan lainnya terjadi dalam kerangka seperti ini. Ironisnya kegiatan-kegiatan ini sering dilakukan dengan cara yang exploitative dan disertai oleh aktivitas-aktivitas illegal yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar atau kecil bahkan masyarakat yang akhirnya memperparah dan mempercepat terjadinya kerusakan hutan
ii. Penegakan Hukum yang Lemah
            Menteri Kehutanan Republik Indonesia M.S.Kaban SE.MSi menyebutkan bahwa lemahnya penegakan hukum di Indonesia telah turut memperparah kerusakan hutan Indonesia. Menurut Kaban penegakan hukum barulah menjangkau para pelaku di lapangan saja. Biasanya mereka hanya orang-orang upahan yang bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-harinya. Mereka hanyalah suruhan dan bukan orang yang paling bertanggungjawab. Orang yang menyuruh mereka dan paling bertanggungjawab sering belum disentuh hukum. Mereka biasanya mempunyai modal yang besar dan memiliki jaringan kepada penguasa. Kejahatan seperti ini sering juga melibatkan aparat pemerintahan yang berwenang dan seharusnya menjadi benteng pertahanan untuk menjaga kelestarian hutan seperti polisi kehutanan dan dinas kehutanan. Keadaan ini sering menimbulkan tidak adanya koordinasi yang maksimal baik diantara kepolisian, kejaksaan dan pengadilan sehingga banyak kasus yang tidak dapat diungkap dan penegakan hukum menjadi sangat lemah.
iii. Mentalitas Manusia.
            Manusia sering memposisikan dirinya sebagai pihak yang memiliki otonomi untuk menyusun blue print dalam perencanaan dan pengelolaan hutan, baik untuk kepentingan generasi sekarang maupun untuk anak cucunya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena manusia sering menganggap dirinya sebagai ciptaan yang lebih sempurna dari yang lainnya. Pemikiran antrhroposentris seperti ini menjadikan manusia sebagai pusat. Bahkan posisi seperti ini sering ditafsirkan memberi lisensi kepada manusia untuk “menguasai” hutan. Karena manusia memposisikan dirinya sebagai pihak yang dominan, maka keputusan dan tindakan yang dilaksanakanpun sering lebih banyak di dominasi untuk kepentingan manusia dan sering hanya memikirkan kepentingan sekarang daripada masa yang akan datang. Akhirnya hutanpun dianggap hanya sebagai sumber penghasilan yang dapat dimanfaatkan dengan sesuka hati. Masyarakat biasa melakukan pembukaan hutan dengan berpindah-pindah dengan alasan akan dijadikan sebagai lahan pertanian. Kalangan pengusaha menjadikan hutan sebagai lahan perkebunan atau penambangan dengan alasan untuk pembangunan serta menampung tenaga kerja yang akan mengurangi jumlah pengangguran. Tetapi semua itu dilaksanakan dengan cara pengelolaan yang exploitative yang akhirnya menimbulkan kerusakan hutan. Dalam struktur birokrasi pemerintahan mentalitas demikian juga seakan-akan telah membuat aparat tidak serius untuk menegakkan hukum dalam mengatasi kerusakan hutan bahkan terlibat di dalamnya.

D. PENANGGULANGAN KERUSAKAN HUTAN SECARA UMUM
            Langkah pertama yang harus dilakukan oleh pemerintah sebagai penentu kebijakan harus segera melakukan pemulihan terhadap kerusakan hutan harus untuk menjaga agar tidak terjadi kerusakan yang lebih parah. Untuk melaksanakan pemulihan terhadap kerusakan hutan yang telah terjadi, pemerintah dengan mengajak seluruh lapisan masyarakat, dari kalangan individu, kelompok maupun organisasi perlu secara serentak mengadakan reboisasi hutan dalam rangka penghijauan hutan kembali sehingga pada 10 - 15 tahun ke depan kondisi hutan Indonesia dapat kembali seperti sedia kala. Pelaksanaan penghijauan tersebut harus lebih mengaktifkan masyarakat lokal ( masyarakat yang berada di sekitar hutan ) untuk secara sadar dan spontan turut menjaga kelestarian hutan tersebut.
            Langkah kedua, pemerintah harus menerapkan cara-cara baru dalam penanganan kerusakan hutan. Pemerintah mengikutsertakan peran serta masyarakat terutama peningkatan pelestarian dan pemanfaatan hutan alam berupa upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan dan latihan serta rekayasa kehutanan.
            Langkah ketiga adalah   pencegahan dan peringanan. Pencegahan di sini dimaksud kegiatan penyuluhan / penerangan kepada masyarakat lokal akan penting menjaga fungsi dan manfaat hutan agar dapat membantu dalam menjaga kelestarian hutan dan penegakan hukum yang tegas oleh aparat penegak hukum, POLRI yang dibantu oleh POL HUT dalam melaksanakan penyelidikan terhadap para oknum pemerintahan daerah atau desa yang menyalahgunakan wewenang untuk memperdagangkan kayu pada hutan lindung serta menangkap dan melakukan penyidikan secara tuntas terhadap para cukong - cukong kayu yang merugikan negara trilyunan rupiah setiap tahunnya. Peringanan yang dimaksud di sini adalah pemerintah harus melaksanakan analisa terhadap pelaksanaan peraturan tersebut di dalam masyarakat. Bila ditemukan hal - hal yang tidak cocok bagi masyarakat sebaiknya pemerintah mengadakan revisi terhadap undang - undang tersebut sepanjang tujuan awal pembuatan undang - undang itu tidak dilanggar.
            Langkah terkahir adalah adanya kesiapsiagaan yang berlangsung selama 24 jam terhadap penjagaan terhadap kelestarian hutan ini. Pemerintah harus melaksanakan pengawasan dan pengendalian secara rutin dan situasional terhadap segala hal yang berkaitan adanya informasi kerusakan hutan yang didapatkan melalui media massa cetak maupun elektronik ataupun informasi yang berasal dari masyarakat sendiri. Pemerintah harus melakukannya secara kontinyu dan terus - menerus sehingga kalaupun ada kerusakan hutan yang dilakukan oleh oknum tertentu dapat segera diambil langkah yang tepat serta dapat mengurangi akibat bencana/ disaster yang akan ditimbulkan kemudian.

E. PROGRAM DAN KEGIATAN DALAM RANGKA PELESTARIAN SUMBER DAYA HUTAN BERBASIS MASYARAKAT (STUDI KASUS)
            Penanggulangan kerusakan sumber daya hutan perlu dilakukan secara hati-hati agar tujuan dari upaya dapat dicapai. Mengingat bahwa subjek dan objek penanggulangan ini terkait erat dengan keberadaan masyarakat sekitar hutan, dimana mereka juga mempunyai ketergantungan yang cukup tinggi terhadap ketersediaan sumberdaya di hutan, maka penanggulangan kerusakan hutan berbasis masyarakat menjadi pilihan yang bijaksana untuk diimplementasikan.
            Penanggulangan kerusakan sumber daya hutan berbasis masyarakat diharapkan mampu menjawab persoalan yang terjadi di suatu wilayah berdasarkan karakteristik sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di wilayah tersebut. Dalam hal ini, suatu komunitas mempunyai hak untuk dilibatkan atau bahkan mempunyai kewenangan secara langsung untuk membuat sebuah perencanaan pengelolaan wilayahnya disesuaikan dengan kapasitas dan daya dukung wilayah terhadap ragam aktivitas masyarakat di sekitarnya.
            Pola perencanaan pengelolaan seperti ini sering dikenal dengan sebutan participatory management planning, dimana pola pendekatan perencanaan dari bawah yang disinkronkan dengan pola pendekatan perencanaan dari atas menjadi sinergi diimplementasikan. Dalam hal ini prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat menjadi hal krusial yang harus dijadikan dasar implementasi sebuah pengelolaan berbasis masyarakat.
Langkah-langkah yang harus diterapkan antara lain :
(1) Persiapan
            Dalam persiapan ini terdapat tiga kegiatan kunci yang harus dilaksanakan, yaitu (i) sosialisasi rencana kegiatan dengan masyarakat dan kelembagaan lokal yang ada, (ii) pemilihan/pengangkatan motivator (key person) desa, dan (iii) penguatan kelompok kerja yang telah ada/pembentukan kelompok kerja baru.
(2) Perencanaan
            Dalam melakukan perencanaan upaya penanggulangan kerusakan sumber daya hutan ini terdapat tujuh ciri perencanaan yang dinilai akan efektif, yaitu (i) proses perencanaannya berasal dari dalam dan bukan dimulai dari luar, (ii) merupakan perencanaan partisipatif, termasuk keikutsertaan masyarakat lokal, (iii) berorientasi pada tindakan (aksi) berdasarkan tingkat kesiapannya, (iv) memiliki tujuan dan luaran yang jelas, (v) memiliki kerangka kerja yang fleksibel bagi pengambalian keputusan, (vi) bersifat terpadu, dan (vii) meliputi proses-proses untuk pemantauan dan evaluasi.
(3) Persiapan Sosial
            Untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi masyarakat secara penuh, maka masyarakat harus dipersiapkan secara sosial agar dapat (i) mengutarakan aspirasi serta pengetahuan tradisional dan kearifannya dalam menangani isu-isu lokal yang merupakan aturan-aturan yang harus dipatuhi, (ii) mengetahui keuntungan dan kerugian yang akan didapat dari setiap pilihan intervensi yang diusulkan yang dianggap dapat berfungsi sebagai jalan keluar untuk menanggulangi persoalan lingkungan yang dihadapi, dan (iii) berperanserta dalam perencanaan dan pengimplementasian rencana tersebut.
(4) Penyadaran Masyarakat
            Dalam rangka menyadarkan masyarakat terdapat tiga kunci penyadaran, yaitu (i) penyadaran tentang nilai-nilai ekologis sumber daya hutan serta manfaat penanggulangan kerusakan lingkungan hutan, (ii) penyadaran tentang konservasi, dan (iii) penyadaran tentang keberlanjutan ekonomi jika upaya penanggulangan kerusakan lingkungan dapat dilaksanakan secara arif dan bijaksan
(5) Analisis Kebutuhan
            Untuk melakukan analisis kebutuhan terdapat tujuh langkah pelaksanaannya, yaitu: (i) PRA dengan melibatkan masyarakat lokal, (ii) identifikasi situasi yang dihadapi di lokasi kegiatan, (iii) analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, (iv) identifikasi masalah-masalah yang memerlukan tindak lanjut, (v) identifikasi pemanfaatan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan di masa depan, (vi) identifikasi kendala-kendala yang dapat menghalangi implementasi yang efektif dari rencana-rencana tersebut, dan (vii) identifikasi strategi yang diperlukan untuk mencapai tujuan kegitan.
(6) Pelatihan Keterampilan Dasar
            Pelatihan keterampilan dasar perlu dilakukan untuk efektivitas upaya penanggulangan kerusakan lingkungan, yaitu (i) pelatihan mengenai perencanaan upaya penanggulangan kerusakan, (ii) keterampilan tentang dasar-dasar manajemen organisasi, (iii) peranserta masyarakat dalam pemantauan dan pengawasan, (iv) pelatihan dasar tentang pengamatan sumberdaya, (v) pelatihan pemantauan kondisi sosial ekonomi dan ekologi, dan (vi) orientasi mengenai pengawasan dan pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan upaya penanggulangan kerusakan lingkungan dan pelestarian sumberdaya.
(7) Penyusunan Rencana Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan Laut secara Terpadu dan Berkelanjutan
            Terdapat lima langkah penyusunan rencana penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut secara terpadu dan berkelanjutan, yaitu: (i) mengkaji permasalahan, strategi dan kendala yang akan dihadapi dalam pelaksanaan upaya penanggulangan kerusakan lingkungan, (ii) menentukan sasaran dan tujuan penyusunan rencana penanggulangan, (iii) membantu pelaksanaan pemetaan oleh masyarakat, (iv) mengidentifikasi aktivitas penyebab kerusakan lingkungan, dan (v) melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan serta dalam pemantauan pelaksanaan rencana tersebut.
(8) Pengembangan Fasilitas Sosial
            Terdapat dua kegiatan pokok dalam pengembangan fasilitas sosial ini, yaitu: (i) melakukan perkiraan atau analisis tentang kebutuhan prasarana yang dibutuhkan dalam upaya penanggulangan kerusakan lingkungan, penyusunan rencana penanggulangan dan pelaksanaan penanggulangan berbasis masyarakat, serta (ii) meningkatkan kemampuan (keterampilan) lembaga-lembaga desa yang bertanggung jawab atas pelaksanaan langkah-langkah penyelamatan dan penanggulangan kerusakan lingkungan dan pembangunan prasarana.
(9) Pendanaan
            Pendanaan merupakan bagian terpenting dalam proses implementasi upaya penanggulangan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, peran pemerintah selaku penyedia pelayanan diharapkan dapat memberikan alternatif pembiayaan sebagai dana awal perencanaan dan implementasi upaya penanggulangan. Namun demikian, modal terpenting dalam upaya ini adanya kesadaran masyarakat untuk melanjutkan upaya penanggulangan dengan dana swadaya masyarakat setempat.
            Kesembilan proses implementasi upaya penanggulangan pencemaran laut tersebut di atas tidak bersifat absolut, tetapi dapat disesuaikan dengan karakteristik wilayah, sumberdaya dan masyarakat setempat, terlebih bilamana di wilayah tersebut telah terdapat kelembagaan lokal yang memberikan peran positif bagi pengelolaan sumberdaya dan pembangunan ekonomi masyarakat sekitarnya.

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
            Dengan kerusakan hutan Indonesia, kita akan kehilangan beragam hewan dan tumbuhan yang selama ini menjadi kebanggaan bangsa Indonesia. Sementara itu, hutan Indonesia selama ini merupakan sumber kehidupan bagi sebagian rakyat Indonesia. Hutan merupakan tempat penyedia makanan, penyedia obat-obatan serta menjadi tempat hidup bagi sebagian besar rakyat Indonesia. Dengan hilangnya hutan di Indonesia, menyebabkan mereka kehilangan sumber makanan dan obat-obatan. Seiring dengan meningkatnya kerusakan hutan Indonesia, menunjukkan semakin tingginya tingkat kemiskinan rakyat Indonesia dan sebagian masyarakat miskin di Indonesia hidup berdampingan dengan hutan.

B. SARAN
            Peranan pemerintah untuk menjaga keletarian dan pemanfaatan hutan dengan baik sangat penting. Pemerintah memiliki tanggung jawab atas pengelolaan dan kelestarian hutan Indonesia. Pemerintah harus memiliki:
a. Keahlian, kemampuan dan keterampilan teknis kerja yang bagus untuk bisa mengelola hutan Indonesia secara tepat dan benar
b. Mempunyai sikap mental yang positif terhadap kelestarian hutan, bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan
c. Berdisiplin yang tinggi dan memiliki dedikasi yang tinggi terhadap tugas yang dibebankan kepadanya
»»  BACA SELENGKAPNYA...

MANAJEMEN SDM


 Peran, Fungsi, Tugas dan Tanggung Jawab Manajemen Sumber Daya Manusia

Peran, Fungsi, Tugas dan Tanggung Jawab Manajemen Sumber Daya Manusia

Peranan karyawan bagi sebuah perusahan berupa keterlibatan mereka dalam sebuah perencanaan, sistem, proses dan tujuan yang ingin dicapai oleh perusahaan. Berbicara mengenai peranan tenaga kerja, harus dibedakan antara mereka yang memiliki pekerjaan dan mereka yang bekerja. R.Kyosaki menyebutnya dalam empat tingkatan (quadrant) yaitu self employed, employe, pebisnis dan investor. Karyawan adalah mereka yang bekerja pada orang lain dengan menjual jasa mereka; waktu, tenaga dan pikiran untuk perusahan dan mendapat kopensasi dari perusahan tersebut. Namun berbicara mengenai tenaga kerja ini masih umum. Karena ada yang tidak bekerja, yang bekerja (pada orang lain/negara/swasta) dan mereka yang bekerja sendiri.

Dalam MSDM yang ingin ditelah adalah karyawan (mereka yang menjual jasa-pikiran, tenaga dan waktu- kepada orang lain atau perusahaan. Disini terjadi sebuah ikatan atau kontrak mengenai hak dan kewajiban masing-masing.

Perencanaan
Melakukan persiapan dan seleksi tenaga kerja (Preparation and selection)

Persiapan. Dalam proses persiapan dilakukan perencanaan kebutuhan akan sumber daya manusia dengan menentukan berbagai pekerjaan yang mungkin timbul. Yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan perkiraan/forecast akan pekerjaan yang lowong, jumlahnya, waktu, dan lain sebagainya. Ada dua faktor yang perlu diperhatikan dalam melakukan persiapan, yaitu faktor internal seperti jumlah kebutuhan karyawan baru, struktur organisasi, departemen yang ada, dan lain-lain. Faktor eksternal seperti hukum ketenagakerjaan, kondisi pasa tenaga kerja, dan lain sebagainya.

Rekrutmen & Seleksi

Melakukan persiapan dan seleksi tenaga kerja (Preparation and selection)

Persiapan. Dalam proses persiapan dilakukan perencanaan kebutuhan akan sumber daya manusia dengan menentukan berbagai pekerjaan yang mungkin timbul. Yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan perkiraan/forecast akan pekerjaan yang lowong, jumlahnya, waktu, dan lain sebagainya. Ada dua faktor yang perlu diperhatikan dalam melakukan persiapan, yaitu faktor internal seperti jumlah kebutuhan karyawan baru, struktur organisasi, departemen yang ada, dan lain-lain. Faktor eksternal seperti hukum ketenagakerjaan, kondisi pasa tenaga kerja, dan lain sebagainya.[rujukan?]
[sunting] Rekrutmen & Seleksi

1. Rekrutmen tenaga kerja/Recruitment. Rekrutmen adalah suatu proses untuk mencari calon atau kandidat pegawai, karyawan, buruh, manajer, atau tenaga kerja baru untuk memenuhi kebutuhan sdm oraganisasi atau perusahaan. Dalam tahapan ini diperlukan analisis jabatan yang ada untuk membuat deskripsi pekerjaan/job description dan juga spesifikasi pekerjaan/job specification.[rujukan?]
2. Seleksi tenaga kerja/Selection. Seleksi tenaga kerja adalah suatu proses menemukan tenaga kerja yang tepat dari sekian banyak kandidat atau calon yang ada. Tahap awal yang perlu dilakukan setelah menerima berkas lamaran adalah melihat daftar riwayat hidup/cv/curriculum vittae milik pelamar. Kemudian dari cv pelamar dilakukan penyortiran antara pelamar yang akan dipanggil dengan yang gagal memenuhi standar suatu pekerjaan. Lalu berikutnya adalah memanggil kandidat terpilih untuk dilakukan ujian test tertulis, wawancara kerja/interview dan proses seleksi lainnya.


Menurut Cut Zurnali (2010), sebuah organisasi atau perusahaan harus dapat mencari dan menarik calon karyawan yang memiliki kemampuan bekerja dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, yang biasa disebut sebagai pekerja pengetahuan (knowledge worker). Mengutip pendapat Drucker (2002:135): Kontribusi manajemen yang paling penting yang dibutuhkan pada abad ke-21 ini adalah meningkatkan produktivitas kerja pengetahuan (knowledge work) sekaligus meningkatkan produktivitas pekerja pengetahuan (knowledge worker). Produktivitas kerja pengetahuan (knowledge work) berarti perusahaan meningkatkan cakupan kerjanya pada pemanfaatan teknologi yang berbasis pengetahuan, termasuk didalamnya memanfaatkan semaksimal mungkin penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam meningkatkan profitabilitas sekaligus memperkuat daya saing (competiveness) perusahaan. Kerja pengetahuan adalah kenyataan yang harus dihadapi oleh setiap perusahaan atau setiap organisasi, baik organisasi laba (perusahaa atau korporasi) maupun organisasi nirlaba (seperti kantor-kantor pemerintah atau NGO). Sedangkan peningkatan produktivitas pekerja pengetahuan (knowledge worker) bermakna bagaimana memanfaatkan semaksimal mungkin pengetahuan dan kemampuan para pekerja pengetahuan dalam menjalankan setiap pekerjaan atau tugas yang diberikan perusahaan kepada mereka.


Cut Zurnali (2010) mendefinisikan pekerja pengetahuan atau knowledge worker (K-Worker) sebagai karyawan sebuah organisasi yang bertanggung jawab untuk mendesain, membangun, menguji, memelihara, dan mengoperasikan infrastuktur dan aplikasi keorganisasian dengan sentuhan teknologi informasi dan komunikasi sehingga dapat mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien sekaligus dapat memberikan kepuasaan bagi para stake holder organisasi tersebut.


Lebih lanjut dipaparkan bahwa kekhasan pekerja pengetahuan terletak pada adanya otonomi untuk menikmati kebebasan dalam pekerjaan, bergerak, dan melawan perintah dan budaya pengendalian. Dalam perkembangannya, K-worker cenderung memiliki kemampuan mengoperasikan perusahaan sehingga mereka dapat memiliki satu atau lebih perusahaan yang dapat berupa perusahaan komersial ataupun perusahaan non profit. Beragam perusahaan pengetahuan dapat memilih untuk membantu menempatkan bidang pengetahuan dan teknologi yang biasanya ditujukan untuk pengembangan kemampuan dalam industri utama seperti industri telekomunikasi, pendidikan dan konsultan, pertambangan, otomotif, semi konduktor, dan bioteknologi.


Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Cut Zurnali tersebut, dapatlah ditarik sebuah kesimpulan bahwa pada era sekarang ini sudah saatnya sebuah departemen SDM merekrut karyawan-karyawan dengan kualifikasi knowledge worker agar sebuah organisasi atau perusahaan dapat mencapai keunggulan kompetitif dalam jangka panjang, sekaligus memberikan keuntungan kepada para stake holder organisasi tersebut, tidak hanya pada saat ini tapi juga di masa depan. 
»»  BACA SELENGKAPNYA...